Britainaja, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Terbaru, penyidik mendalami adanya aliran uang rutin sebesar Rp50 juta per minggu yang diduga diterima oleh mantan Direktur Jenderal Binwasnaker dan K3, Haiyani Rumondang.
Uang tersebut diduga bersumber dari praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh pihak-pihak tertentu di lingkungan Kemnaker.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, penyidik memeriksa sejumlah saksi untuk memperkuat bukti terkait aliran dana tersebut. Salah satunya adalah Nila Pratiwi Ichsan, pejabat penjaminan mutu lembaga K3 Kemnaker.
“Saksi di periksa untuk mendalami proses penerbitan sertifikat K3 serta pengetahuannya mengenai penerimaan uang dari pihak penyelenggara jasa K3 (PJK3),” jelas Budi dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/10/2025).
KPK juga mengonfirmasi bahwa pemeriksaan terhadap Haiyani Rumondang berfokus pada dugaan penerimaan uang Rp50 juta per minggu. Menurut Budi, informasi tersebut sebelumnya telah di ungkap dalam konferensi pers oleh Ketua KPK Setyo Budiyanto pada 22 Agustus 2025.
Dalam konstruksi perkara yang di susun penyidik, uang hasil pemerasan itu di duga tidak hanya mengalir kepada Haiyani, tetapi juga ke sejumlah pejabat lain di Kemnaker. “Uang tersebut mengalir ke Saudari HR sebesar Rp50 juta per minggu,” kata Setyo Budiyanto dalam keterangan sebelumnya.
Selain Haiyani, KPK juga telah menetapkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) IEG sebagai tersangka utama. IEG di tahan bersama 10 orang lainnya, sebagian di antaranya merupakan pejabat aktif di Kemnaker dan pihak swasta yang berperan dalam proses sertifikasi K3.
Mereka yang ikut di jerat di antaranya IBM, GAH, SB, AK, FRZ, HS, SKP, SUP, TEM, dan MM.
KPK menemukan adanya mark up biaya sertifikasi K3 yang di lakukan secara sistematis. Tarif resmi sertifikasi seharusnya hanya Rp275 ribu, namun di lapangan, peserta di bebankan biaya hingga Rp6 juta per orang.
“Selisih biaya inilah yang kemudian menjadi sumber uang haram yang di bagikan kepada sejumlah pejabat,” ungkap Setyo.
Skema ini, menurut KPK, telah berjalan sejak tahun 2019 dan menyebabkan kerugian besar bagi para pekerja yang mengikuti program sertifikasi tersebut. Lembaga antikorupsi itu memperkirakan total nilai dugaan pemerasan mencapai Rp81 miliar.
Selain menelusuri aliran dana, KPK juga tengah mengidentifikasi aset-aset milik para tersangka yang di duga berasal dari hasil korupsi. Tim penyidik di sebut telah mengantongi sejumlah bukti transaksi dan rekening terkait kasus ini.
Menurut Budi Prasetyo, lembaganya akan terus memperluas penyidikan agar seluruh pihak yang terlibat dapat di mintai pertanggungjawaban hukum. “Kami pastikan setiap rupiah hasil kejahatan akan di telusuri dan di kembalikan untuk kepentingan negara,” tegasnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut sektor ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi hak pekerja. Praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikat K3 di nilai tidak hanya merugikan finansial peserta, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap lembaga pemerintah.
Sejumlah pengamat menilai, KPK perlu mengungkap secara terbuka mekanisme aliran dana dan pihak penerima agar kasus ini tidak berhenti di tingkat pejabat menengah. (Tim)









