Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa meluncurkan kanal pengaduan WhatsApp “Lapor Pak Purbaya” untuk memberantas masalah di layanan pajak dan bea cukai. Baru dua hari beroperasi sejak 15 Oktober 2025, kanal ini langsung dibanjiri lebih dari 15 ribu laporan. Namun, para pakar mengingatkan agar gebrakan ini tidak berakhir sebagai “pencitraan digital” semata tanpa sistem tindak lanjut yang mumpuni.
Isi Berita: Gebrakan Menkeu Purbaya ini didasari keinginan untuk memperbaiki layanan publik di sektor fiskal. Ia bertujuan menciptakan iklim usaha yang lebih adil dan transparan bagi masyarakat.
“Ini buat publik yang punya keluhan terhadap masalah pajak atau pegawai pajak atau pegawai cukai yang ‘ngaco’, atau masalah apa pun terkait pajak dan bea cukai,” ujar Purbaya beberapa waktu lalu di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Purbaya menegaskan, layanan ini dibuat untuk memperkuat transparansi dan memastikan aparat bekerja sesuai prosedur. Ia mengaku telah menyiapkan tim khusus untuk menampung setiap laporan yang masuk. “Sudah ada yang standby. Tapi, enggak langsung dijawab ya. Kami kumpulkan dulu, nanti tiap berapa hari kami sortir,” jelasnya, seraya menjanjikan semua laporan akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme internal Kemenkeu.
Antusiasme publik yang membludak, dengan 15 ribu aduan dalam 48 jam, menunjukkan tingginya kebutuhan masyarakat akan akses pelaporan yang mudah. Keluhan yang masuk pun beragam, mulai dari isu barang yang tertahan lama di kantor Bea Cukai hingga laporan mengenai staf pajak yang di duga kerap ‘ngopi’ pada jam kerja.
Berdasarkan penelusuran, mekanisme pengaduan ini di rancang sangat sederhana. Pengguna yang mengirim pesan pertama akan di beri dua pilihan balasan otomatis: “Nanya” atau “Ngadu”.
Jika memilih “Nanya”, pengguna akan di arahkan ke nomor layanan resmi Kring Pajak dan Bravo Bea Cukai. Sementara jika memilih “Ngadu”, pengguna akan di minta memilih sektor (pajak atau bea cukai), mengisi nama lengkap, alamat email, dan detail keluhan. Setelah semua terisi, sistem akan membalas otomatis: “Ok, di cek dulu ya”.
Meski di sambut baik, langkah ini menuai analisis kritis dari para ahli. Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kanal “Lapor Pak Purbaya” memiliki dua tafsir: sebuah langkah berani menuju transparansi, atau berisiko menjadi sekadar pencitraan digital belaka.
Menurut Achmad, masalah pokoknya terletak pada sistem di baliknya. “Tanpa mekanisme sistem verifikasi dan tindak lanjut terstruktur, kanal itu berisiko jadi ‘kotak masuk WhatsApp raksasa’ yang penuh keluhan tanpa arah,” kata Achmad saat di hubungi, Kamis (23/10/2025).
Ia menegaskan, tolok ukur keberhasilan program ini bukanlah pada jumlah laporan yang masuk. Tolok ukurnya adalah kemampuan sistem dalam menutup rantai masalah, mulai dari aduan, verifikasi, tindak lanjut konkret, hingga adanya umpan balik yang jelas kepada pelapor.
Achmad merekomendasikan agar kanal WA ini tidak berdiri sendiri. Idealnya, “Lapor Pak Purbaya” harus segera terhubung dengan sistem pengaduan yang lebih resmi dan mumpuni, seperti SP4N-LPOR atau mekanisme internal DJP-DJBC yang telah memiliki sistem ticketing, dashboard pemantauan, dan standar waktu penyelesaian yang jelas.
“Dengan integrasi itu, kanal ini dapat mengurai keruwetan birokrasi fiskal. Tanpa itu, ia hanya menjadi sarana melampiaskan emosi, bukan kemajuan,” bebernya. Ia menganalogikan, masyarakat kini bisa dengan mudah “mengetuk bel rumah birokrasi”, namun jika sistem di dalam rumah tidak mau membuka pintu dan memperbaiki kerusakan, bel itu akan terus berbunyi tanpa hasil.
Di ranah media sosial, reaksi publik pun terbelah. Banyak yang mendukung langkah ini sebagai terobosan, namun tidak sedikit yang skeptis. Beberapa pengguna membandingkannya dengan kanal “Halo Mas Wapres” yang kini di anggap tenggelam dan tak terdengar lagi tindak lanjutnya.
Peneliti dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, menekankan bahwa efektivitas kanal pengaduan sangat bergantung pada keberanian lembaga untuk mereformasi internalnya. Menurutnya, masalah utama birokrasi fiskal selama ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga budaya organisasi yang cenderung tertutup dan hierarkis.
Anwar menyebut, kepercayaan publik hanya bisa di bangun lewat dua hal: jaminan kerahasiaan pelapor dan transparansi dalam hasil tindak lanjut. “Kuncinya adalah konsistensi menindaklanjuti laporan, bukan sekadar membuka kanal,” tegasnya.
Ia juga membedakan “Lapor Pak Purbaya” dengan “Halo Mas Wapres”. Kanal Menkeu bersifat teknokratis, operasional, dan korektif, khusus menyasar urusan fiskal yang rumit. Sementara, kanal Wapres lebih bersifat politik, simbolik, dan menjaring aspirasi umum.
“Lapor Pak Purbaya mungkin lebih sempit domainnya, tapi berpotensi lebih dalam dampaknya jika benar-benar menyentuh perbaikan tata kelola internal,” kata Anwar.
Senada dengan itu, ekonom dari Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P. Sasmita, mendorong pemerintah untuk jujur mengenai kapabilitas kanal ini. Publik harus di beri pemahaman jelas mengenai alur tindak lanjut, tenggat waktu respons, dan laporan hasil penyelesaian kasus secara terbuka.
Ronny mengakui keunggulan WhatsApp yang familier dan mudah di akses. Namun, ia juga memperingatkan risiko overload dan minimnya sistematisasi data jika hanya mengandalkan aplikasi pesan.
“Untuk efektif, kanal WhatsApp harus di topang oleh backend system yang mengklasifikasi, mengeskalasi, dan memantau status laporan secara digital, bukan sekadar chat manual yang bisa tenggelam di antara ribuan pesan,” jelas Ronny.
Ronny menyarankan Indonesia belajar dari negara lain. Korea Selatan dengan sistem e-People atau Singapura dengan OneService telah membuktikan bahwa kanal pengaduan publik bisa efektif jika terintegrasi, transparan, dan hasilnya di publikasikan rutin.
Pada akhirnya, keberhasilan “Lapor Pak Purbaya” bergantung pada faktor krusial di luar teknologi, yakni komitmen pimpinan. Publik kini menunggu apakah gebrakan ini akan benar-benar membuka pintu perbaikan birokrasi, atau hanya akan menambah daftar panjang kanal aduan yang redup sebelum tujuannya tercapai. (Tim)









