Generasi muda yang tumbuh di era digital cenderung lebih tertarik pada pekerjaan yang fleksibel, dinamis, dan memiliki prospek tinggi—baik di startup maupun di sektor swasta. Sistem birokrasi yang masih kaku dianggap kurang menarik.
Gaji awal CPNS yang berkisar antara Rp2,5 juta hingga Rp4 juta juga dinilai tidak sebanding dengan biaya hidup, terutama bagi mereka yang ditempatkan di daerah terpencil. Tantangan seperti biaya relokasi, minimnya fasilitas umum, dan keterbatasan konektivitas digital makin memperparah kondisi.
“Ini bukan semata-mata persoalan nominal gaji, melainkan tentang kelayakan hidup dan ketimpangan pembangunan antar wilayah yang belum teratasi,” tegas Achmad.
Ia mengingatkan bahwa fenomena ini bisa menjadi peringatan serius bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang sistem kepegawaian secara menyeluruh. Jika tidak ditangani dengan serius, hal ini bisa memperburuk kesenjangan pelayanan publik antara pusat dan daerah, serta memperkuat arus urbanisasi ASN ke kota besar.
Achmad menyarankan agar proses rekrutmen CPNS tidak hanya mengandalkan nilai ujian administratif, tetapi juga menilai kesiapan mental dan sosial calon ASN dalam menghadapi realitas di lapangan. Selain itu, pemerintah disarankan untuk memperkuat insentif bagi ASN yang ditempatkan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), serta mengelola penempatan secara lebih personal dan berbasis data.
“Pendekatan penempatan seharusnya mempertimbangkan profil kompetensi dan potensi wilayah, bukan hanya berdasarkan kebutuhan birokrasi,” pungkasnya. (***)