Britainaja – Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, dikenal sebagai salah satu pesantren tertua di Nusantara. Lembaga pendidikan Islam ini berdiri resmi pada 1927, namun aktivitas keilmuannya sudah berlangsung sejak 1920.
Tragedi sempat terjadi pada Senin (29/9/2025) ketika mushala pesantren ambruk saat jamaah melaksanakan salat Ashar. Peristiwa itu tidak mengurangi nilai historis pesantren yang kini telah berusia lebih dari satu abad dan tetap menjadi pusat pendidikan Islam di Jawa Timur.
Asal Usul Nama dan Sejarah Awal
Nama “Al Khoziny” diambil dari pendirinya, KH Raden Khozin Khoiruddin, seorang tokoh agama berpengaruh di Sidoarjo pada awal abad ke-20. Masyarakat sekitar sering menyebutnya sebagai Pesantren Buduran, mengikuti nama desa tempat pesantren ini berada.
Menurut catatan sejarah, santri pertama sudah mulai belajar di bawah bimbingan KH Khozin sejak 1920, jauh sebelum pesantren berdiri secara formal. Hal ini menandai perjalanan panjang yang telah dilalui pesantren ini hingga kini.
Ulama Besar yang Pernah Belajar di Al Khoziny
Dalam perjalanannya, Ponpes Al Khoziny melahirkan dan mendidik banyak tokoh penting di dunia Islam Indonesia. Beberapa ulama besar tercatat pernah mengenyam pendidikan di sini, antara lain pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, serta KH Abdul Wahab Hasbullah.
Kehadiran para tokoh tersebut semakin meneguhkan posisi pesantren ini sebagai pusat keilmuan Islam yang berpengaruh, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga secara nasional.
Pendidikan Salaf Sebagai Landasan
Sejak awal, Al Khoziny menerapkan sistem pendidikan salaf. Para santri belajar berbagai kitab kuning klasik, mulai dari Tauhid, Fiqih, Nahwu, hingga Tafsir. Pembelajaran di bagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu Ula (dasar), Wustho (menengah), dan Ulya (lanjutan).
Model pendidikan ini menekankan pemahaman mendalam terhadap teks-teks klasik Islam serta pembentukan akhlak dan kedisiplinan. Hal ini menjadi ciri khas yang hingga kini tetap di pertahankan meski pesantren terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Pengembangan Pendidikan Formal
Transformasi besar terjadi pada masa kepemimpinan KH Moch Abbas. Pada dekade 1960-an, pesantren mulai menggabungkan sistem pendidikan formal dengan tradisi salaf.
-
Tahun 1964 berdiri Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP).
-
Pada 1970, di dirikan Madrasah Aliyah (SMA) serta Madrasah Ibtidaiyah (SD).
-
Tahun 1982, Sekolah Tinggi Diniyah di dirikan sebagai jenjang pendidikan tinggi.
-
Pada 1993, lembaga tersebut diformalisasi menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ) Al Khoziny.
Perkembangan ini menjadikan pesantren semakin relevan di era modern, tanpa meninggalkan akar tradisi Islam klasiknya.
Menjadi Institut Agama Islam Al Khoziny
Saat ini, lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan pesantren telah berkembang menjadi Institut Agama Islam (IAI) Al Khoziny. Transformasi tersebut menjadi bukti nyata keseriusan pesantren dalam memadukan tradisi Islam salaf dengan sistem pendidikan formal.
Dengan kurikulum terpadu, para santri tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga memiliki bekal keilmuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Hal ini membuat pesantren tetap menjadi pilihan utama bagi orang tua yang ingin anaknya mendapat pendidikan agama sekaligus akademik.
Pesantren yang Tetap Relevan di Era Modern
Meski telah berusia lebih dari satu abad, Pesantren Al Khoziny terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran, pengembangan kurikulum formal, serta program kaderisasi ulama menjadikan pesantren ini tidak kehilangan relevansinya.
Santri yang lahir dari pesantren ini di kenal cerdas, berakhlak mulia, dan siap berkiprah di berbagai bidang. Perpaduan antara nilai tradisional dan inovasi modern menjadi kekuatan utama pesantren dalam menjaga eksistensinya.
Warisan Keilmuan yang Tak Lekang Zaman
Lebih dari sekadar lembaga pendidikan, Pondok Pesantren Al Khoziny adalah warisan sejarah Islam di Jawa Timur. Perjalanan panjangnya menunjukkan konsistensi dalam menjaga tradisi salaf sekaligus keberanian dalam berinovasi.
Hingga kini, pesantren terus menjadi saksi hidup perpaduan antara tradisi Islam klasik dengan pendidikan modern. Usia yang sudah menembus satu abad menjadi bukti bahwa pesantren ini bukan hanya tempat belajar, melainkan juga pusat pembentukan karakter dan moral generasi bangsa. (Tim)