Britainaja, Jambi – Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan kembali diuji. Seorang mantan analis kredit BPD Jambi Cabang Kerinci, berinisial RS (26), resmi ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penggelapan dana nasabah dengan total kerugian mencapai lebih dari Rp7,1 miliar.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Wadir Reskrimsus) Polda Jambi, AKBP Taufik Nurmandia, dalam konferensi pers Minggu (2/6/2025) mengungkapkan bahwa RS menyalahgunakan jabatannya dengan menarik dana dari puluhan rekening nasabah tanpa sepengetahuan pemilik.
“Modusnya pelaku berpura-pura membantu proses penarikan dana, padahal semua dilakukan tanpa izin. Ini bentuk pelanggaran serius dalam sistem perbankan,” jelas AKBP Taufik.
Dana Nasabah Mengalir ke Situs Judi Online
Terbongkarnya kasus ini bermula dari analisis jejak digital pada transaksi keuangan RS. Dari hasil penyidikan, diketahui dana yang digelapkan mengalir ke sejumlah akun judi online, dengan nilai transaksi yang fantastis.
Barang bukti yang berhasil diamankan di antaranya adalah slip penarikan palsu serta bukti transfer ke situs perjudian daring. Tindakan ini dilakukan tersangka secara berulang sejak September 2023 hingga Oktober 2024 dan menimpa sedikitnya 25 nasabah.
Menariknya, selama bekerja, RS dikenal sebagai pegawai yang disiplin dan dipercaya oleh rekan kerja maupun nasabah. Namun citra tersebut runtuh ketika penyidik menemukan aliran dana mencurigakan yang mengarah pada aktivitas ilegal.
“Kami sudah memeriksa 27 saksi, termasuk dari internal bank, nasabah, serta pihak OJK,” kata Taufik.
Terancam 15 Tahun Penjara dan Denda Ratusan Miliar
Kasus ini ditangani berdasarkan laporan polisi nomor LP/98/III/2025/SPKT/Polda Jambi tertanggal 18 Maret 2025. Lokasi kejahatan berada di Kantor Bank 9 Jambi Cabang Kerinci, Kabupaten Kerinci.
Kini RS telah ditahan dan dijerat dengan Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Ancaman hukuman yang dihadapi cukup berat, yakni pidana penjara antara 5 hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp200 miliar.
“Kami masih mendalami apakah ada pihak lain yang turut terlibat dalam praktik ini,” tutup AKBP Taufik. (***)