Namun tantangan kian nyata. Globalisasi, modernisasi, dan migrasi keluar desa menjadi penyebab utama pudarnya tradisi dan nilai lokal. Banyak generasi muda mulai terasing dari bahasa ibu, tidak lagi terlibat dalam ritual adat, dan memandang budaya lokal sebagai warisan yang “kuno.” Urbanisasi mendorong pergeseran nilai ke arah materialistik, dan ruang-ruang budaya pun perlahan menyempit.
Di tengah tantangan ini, muncul sejumlah inisiatif lokal dan nasional yang layak diapresiasi. Pemerintah daerah di Kerinci, misalnya, mulai mengintegrasikan muatan lokal dalam kurikulum sekolah dasar, seperti pelajaran bahasa incung (aksara Kerinci), agar kebudayaan tersebut bisa dikenalkan kepada generasi muda. Di Sumatera Barat, revitalisasi surau sebagai pusat pendidikan budaya terus digiatkan. Di Bengkulu dan Lampung, pengembangan desa wisata adat dan digitalisasi narasi rakyat menjadi cara baru untuk memperkenalkan budaya lokal kepada generasi muda dan dunia luar.
Masyarakat Bukit Barisan bukan sekadar pewaris tradisi, mereka adalah penjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Kebudayaan mereka tumbuh dalam medan yang menantang, tetapi justru karena itulah ia menjadi kokoh. Dalam dunia yang kian homogen, keberadaan mereka menjadi pengingat penting bahwa identitas bukanlah sekadar kenangan, melainkan arah dan pijakan masa depan. (Wd)