Britainaja, Padang – Dengan mata sembab dan suara bergetar, Anike Maulana, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, mendatangi Kantor PWI Sumbar pada Kamis (30/10/2025). Ia mencari keadilan setelah di berhentikan dari jabatannya tanpa pemberitahuan maupun alasan yang jelas.
Anike Maulana, A.Ma., atau yang akrab di sapa Nike, masih tampak terpukul ketika menunjukkan surat keputusan (SK) pemberhentiannya. SK bernomor 800.1.6.2/19/BKPSDM-2025, di tandatangani oleh Bupati Dharmasraya, Anisa Suci Rahmadani, tertanggal 1 Oktober 2025.
“Saya benar-benar tidak tahu apa kesalahan saya. Tidak ada teguran, tidak ada pemeriksaan, bahkan tidak ada pemberitahuan sebelumnya,” ujar Nike dengan nada lirih di ruang tamu Kantor PWI Sumbar.
Menurut penuturannya, selama ini ia selalu menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan tidak pernah absen tanpa alasan. Namun, keputusan pemberhentian itu datang secara tiba-tiba dan tanpa proses klarifikasi.
“Kalau saya salah, tolong tunjukkan di mana salah saya. Tapi kalau tidak, kenapa saya harus kehilangan pekerjaan seperti ini?” katanya sambil menahan tangis.
Nike menduga peristiwa ini bermula beberapa bulan lalu ketika hubungannya dengan salah satu Kasubag Kepegawaian di kantor kecamatan mulai renggang. Meski begitu, ia enggan menyimpulkan hal tersebut sebagai penyebab utama di berhentikannya dirinya.
Setelah hubungan kerja memburuk, berbagai kejanggalan mulai ia rasakan. Data absensinya diblokir, akun kepegawaian tidak bisa di akses, bahkan sistem Multi-Factor Authentication (MFA) miliknya juga di nonaktifkan.
“Saya sudah laporkan ke atasan, tapi tidak ada tanggapan. Tidak lama kemudian, justru keluar SK pemberhentian itu,” ujarnya getir.
Yang lebih menyakitkan, surat tersebut baru ia terima pada 24 Oktober 2025, tiga minggu setelah di terbitkan. Selama waktu itu, ia masih bekerja tanpa mengetahui dirinya sudah bukan ASN lagi. “Saya merasa seperti di buang diam-diam,” ucapnya pelan.
Sebelum menerima SK itu, Nike sempat mengadu ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Gubernur Sumatera Barat pada 21 April 2025. Dalam suratnya, ia menjelaskan dugaan diskriminasi dan ketidakadilan yang di alaminya. Namun, hingga berbulan-bulan tidak ada satu pun tanggapan yang ia terima.
“Saya pikir masih ada harapan, tapi ternyata diam saja. Lalu tiba-tiba saya di berhentikan tanpa alasan,” ungkapnya.
Kini, Nike yang berstatus janda dan memiliki seorang anak berusia tujuh tahun harus berjuang dari awal. Gaji ASN yang dulu menjadi sumber kehidupan kini telah hilang. “Saya hanya pegawai biasa, tapi dari gaji itu saya bisa bayar sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari,” katanya meneteskan air mata.
Kedatangan Nike ke Kantor PWI Sumatera Barat bukan untuk mencari belas kasihan, melainkan untuk mencari tempat terakhir mengadu. “Saya hanya ingin cerita ini di dengar. Saya tidak tahu lagi harus ke mana,” ucapnya dengan nada lirih.
Air matanya jatuh ketika mengenang perkataan sang anak. “Anak saya tanya, ‘Bu, kok Ibu nggak kerja lagi?’ Saya cuma bisa bilang Ibu lagi capek, padahal hati saya hancur,” ujarnya dengan suara bergetar.
Meski terpukul, Nike berusaha tetap tegar. Ia masih yakin bahwa kebenaran suatu saat akan terungkap. “Saya tidak menuntut di kasihani. Saya hanya ingin tahu apa kesalahan saya. Kalau memang salah, saya siap di periksa, tapi jangan begini caranya,” katanya tegas.
Sejumlah rekan kerjanya pun membenarkan bahwa Nike di kenal sebagai sosok yang rajin, disiplin, dan tidak pernah membuat masalah. “Kami semua kaget waktu dengar dia di berhentikan. Tidak ada alasan yang jelas,” ujar salah satu mantan rekan yang enggan d isebut namanya.
Kisah Anike Maulana mencerminkan wajah buram birokrasi yang masih sering terjadi, di mana keputusan administratif terkadang tidak di sertai transparansi dan keadilan.
Keputusan pemberhentian seorang ASN semestinya melalui prosedur yang jelas dan berkeadilan. Pemerintah daerah bersama lembaga kepegawaian di harapkan dapat meninjau kembali kasus seperti ini agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi pegawai lain.
Bagi Nike, perjuangannya belum berakhir. Ia ingin terus mencari keadilan agar kelak anaknya bisa bangga pada ibunya. “Saya ingin anak saya tahu, ibunya tidak menyerah. Saya hanya ingin keadilan,” tutupnya sambil memeluk anaknya erat.
Kasus Anike menjadi pengingat penting bagi instansi pemerintah bahwa setiap kebijakan harus di jalankan dengan asas keadilan dan transparansi. Karena di balik setiap surat keputusan, ada kehidupan dan harapan yang bergantung padanya. (*/Wd)









