Britainaja – Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia dan sudah menjadi sebuah kebutuhan. Namun, bersamaan dengan tingginya tingkat penggunaannya, muncul pula perilaku yang cukup menonjol di dunia maya, yakni kebiasaan kepo (ingin tahu urusan orang lain) dan nyinyir (berkomentar negatif). Fenomena ini kerap ditemui hampir setiap hari di kolom komentar, forum publik, hingga konten yang lagi viral.
Ternyata, perilaku seperti ini bukan sekadar kebiasaan iseng. Sejumlah teori psikologi dan sosial menjelaskan bahwa ada alasan ilmiah mengapa banyak masyarakat pengguna media sosial di Indonesia cenderung kepo dan nyinyir.
Salah satu penyebab utamanya adalah kebutuhan manusia untuk mendapatkan pengakuan. Dalam sebuah teori Maslow, kebutuhan akan harga diri dan eksistensi menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia. Media sosial menjadi ruang instan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan berkomentar atau ikut dalam percakapan publik, seseorang merasa lebih “terlihat” dan dianggap keberadaannya.
Selain itu, teori Social Comparison menjelaskan bahwa manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Ketika seseorang merasa kalah atau tidak seberuntung pengguna lain yang membagikan kehidupan glamor di media sosial, komentar sinis sering menjadi bentuk ekspresi pelampiasan psikologis.
Fenomena kepo juga dapat dijelaskan secara neurologis. Saat seseorang menggali informasi pribadi orang lain, otak melepaskan dopamin, zat kimia yang memberi rasa senang dan puas. Hal ini bisa menimbulkan semacam kecanduan yang membuat seseorang terus-terusan ingin tahu urusan orang lain.
Faktor budaya juga turut memperkuat perilaku ini. Sebagai masyarakat yang berbudaya kolektif, masyarakat Indonesia cenderung merasa bahwa urusan individu juga merupakan bagian dari urusan bersama. Nilai kebersamaan ini tak jarang meleburkan batas antara privasi dan ruang publik.
Sayangnya, kebiasaan ini juga diperburuk oleh rendahnya literasi digital masyarakat. Tidak semua pengguna memahami batasan privasi, etika berkomentar, serta dampak buruk dari ujaran negatif terhadap kondisi psikologis orang lain.
Fenomena kepo dan nyinyir memang tak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun, kombinasi antara kebutuhan sosial, budaya kolektif, dan rendahnya pemahaman digital membuatnya menjadi lebih kentara di tanah air.
Agar ruang digital tetap sehat dan nyaman, penting bagi pengguna media sosial untuk meningkatkan literasi digital, menghargai privasi orang lain, dan membiasakan empati dalam berkomunikasi. Media sosial seharusnya menjadi sarana untuk saling terhubung, bukan saling menjatuhkan satu dengan lainnya. (Wd)