Britainaja – Setelah berhasil mengembangkan teknologi nuklir, Uni Soviet terus membangun reaktor-reaktor baru. Hingga tahun 1986, terdapat empat reaktor besar yang beroperasi di Chernobyl, dengan kekuatan serupa. Namun, sebagian dari reaktor tersebut masih dalam tahap pengujian.
Menurut laporan The Guardian, pengujian itu fokus pada sistem pendinginan darurat. Sebab, reaktor nuklir harus tetap dingin sepanjang waktu, dengan pasokan air yang tak boleh terputus selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jika suplai air terganggu, suhu reaktor akan meningkat drastis dan bisa menyebabkan ledakan.
Pada 26 April 1986, tim teknis di Chernobyl mencoba menguji seberapa lama turbin bisa terus memompa air pendingin setelah listrik utama terputus. Secara teori, turbin yang masih berputar seharusnya dapat mempertahankan pendinginan reaktor hingga generator darurat menyala.
Namun, dalam pelaksanaannya, banyak kekacauan. Orang-orang kunci yang terlibat dalam pengujian, seperti Deputi Kepala Insinyur Anatoly Dyatlov dan Kepala Insinyur Nicholai Fomin, dinilai tidak kompeten dan enggan mendengarkan peringatan dari teknisi lain.
Mengutip buku Chernobyl: 01:23:40 (2014), Fomin dengan sengaja mengabaikan kenyataan bahwa daya reaktor sudah terlalu rendah — hanya 200 megawatt, padahal standar minimalnya adalah 700 megawatt. Sementara itu, Dyatlov bersikeras tes harus dilakukan hari itu juga, meskipun teknisi sudah memperingatkan bahwa kondisi reaktor tidak stabil. Di bawah tekanan ancaman mutasi jabatan, para teknisi akhirnya terpaksa melanjutkan pengujian.
Dari sinilah bencana dimulai.
Malam itu, mereka menjalankan generator, dan turbin sempat mengalirkan air pendingin ke reaktor. Namun tak berselang lama, daya turbin menurun drastis dan tidak mampu menopang proses pendinginan. Suhu di inti reaktor pun melonjak cepat. Saat darurat terjadi, teknisi berusaha menekan tombol SCRAM, sistem otomatis yang seharusnya mematikan reaktor. Sayangnya, tombol itu gagal berfungsi karena sebelumnya tidak pernah diuji.
Dalam hitungan detik, suhu di inti reaktor menembus 3.000 derajat Celcius. Ledakan hebat pun tak terelakkan, menghancurkan reaktor dan memuntahkan material radioaktif ke atmosfer.
Saat itu, sebagian besar penduduk masih terlelap, tidak menyadari bahaya yang mengintai. Banyak yang tidak sempat melarikan diri, dan terpapar radiasi dalam jumlah mematikan. Alat-alat pengukur radiasi pun lumpuh karena skala radiasi terlalu tinggi untuk dideteksi.
Ketika pagi tiba, warga melihat debu-debu beterbangan di udara, tanpa menyadari bahwa itu adalah partikel radioaktif yang mematikan.
Menurut catatan BBC, sekitar 90 ribu orang meninggal dalam jangka panjang akibat paparan radiasi tersebut. Sementara itu, lebih dari 600 ribu orang lainnya terdampak langsung. WHO melaporkan bahwa radiasi dari ledakan Chernobyl menyebar hingga 200 ribu kilometer, bahkan mencapai benua Eropa. Sedangkan kawasan Chernobyl sendiri diperkirakan akan tetap berbahaya bagi manusia hingga 20.000 tahun ke depan akibat kontaminasi yang ekstrem. (***)