Britainaja, Sungai Penuh – Sidang kasus dugaan malpraktik tindakan khitan di Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Sungai Penuh. Pada Senin (17/11/2025), agenda persidangan menghadirkan empat saksi penting dari kalangan tenaga kesehatan dan instansi perizinan. Terdakwa dalam kasus ini adalah Yogi Nofranika, seorang perawat yang diduga melakukan kelalaian medis.
Juru Bicara PN Sungai Penuh, Wanda Rara Fahreza, mengonfirmasi pelaksanaan sidang tersebut. Keterangan para saksi di fokuskan untuk mengusut tuntas dugaan kelalaian dan menelusuri legalitas praktik khitan yang menjadi akar masalah. Hal ini krusial untuk membuktikan apakah tindakan medis yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan memiliki payung hukum.
Salah satu kesaksian yang paling di sorot datang dari dr. Sudrajat. Di hadapan majelis hakim, ia membantah keras pernah bekerja sama dengan terdakwa Yogi. Bahkan, dr. Sudrajat mengaku telah meminta agar namanya segera di hapus dari plang praktik yang sebelumnya mencantumkan namanya.
Pengakuan dr. Sudrajat ini memperkuat dugaan adanya pencatutan nama dokter untuk melegalkan praktik. Menurut Kasubsi Intelijen Kejaksaan Negeri Sungai Penuh, M. Haris, kesaksian ini akan menjadi materi penting yang di dalami dalam rangkaian persidangan selanjutnya.
Organisasi profesi, melalui Ketua PPNI Kabupaten Kerinci, Roni, turut memberikan keterangan mengenai kewenangan perawat. Roni secara tegas menjelaskan batasan seorang perawat dalam melakukan tindakan medis sirkumsisi (khitan). Tindakan ini hanya di perbolehkan jika perawat mendapatkan pendelegasian atau berada di bawah supervisi langsung dari seorang dokter.
Roni juga menyampaikan bahwa PPNI telah memberikan pendampingan selama proses pengobatan lanjutan korban, Baim, di RSUD M. Jamil, Sumatra Barat. Pendampingan ini di lakukan demi memastikan korban mendapatkan perawatan terbaik pasca-insiden yang berujung pada laporan pidana ini.
Dugaan praktik ilegal semakin kuat setelah saksi dari unsur pemerintah daerah memberikan keterangan. Perwakilan Dinas Kesehatan Kerinci, Efdinur, dengan lugas menyatakan bahwa instansinya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi izin praktik mandiri atas nama Yogi.
Keterangan senada di perkuat oleh Yelmi, staf verifikasi di DPMPTSP Kerinci. Ia memastikan bahwa tidak ada data izin praktik atas nama terdakwa dalam sistem perizinan resmi daerah. Dokumen Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) yang di perlihatkan di persidangan di sebut tidak terdaftar dalam basis data perizinan mereka. Keterangan dari dua instansi ini menguak dugaan baru terkait legalitas dan keaslian dokumen perizinan yang di gunakan terdakwa.
Di tengah proses hukum yang berjalan, terungkap fakta bahwa kedua belah pihak sempat menyusun kesepakatan damai tertulis sebelum kasus ini bergulir ke ranah pidana. Dalam perjanjian damai tersebut, Yogi menyatakan kesediaannya menanggung biaya pemulihan korban, Baim. Sebagai balasannya, keluarga korban bersepakat untuk tidak membawa persoalan ini ke ranah hukum.
Namun, proses perdamaian ini terhenti dan tidak berjalan mulus. Komunikasi antara kedua pihak putus setelah terdakwa di kabarkan jatuh sakit dan harus menjalani perawatan di Padang. Kemacetan komunikasi inilah yang membuat proses mediasi terhenti dan keluarga korban memutuskan untuk melanjutkan kasus ke jalur hukum.
Kuasa hukum Yogi, Viktorianus Gulo, menyatakan bahwa pihaknya tetap mengutamakan penyelesaian damai. Viktorianus beralasan, upaya damai ini demi masa depan korban yang masih panjang.
“Keluarga tetap mengedepankan perdamaian karena masa depan Baim masih panjang,” ujar Viktorianus. Pihak terdakwa juga menegaskan kembali komitmennya untuk menanggung seluruh biaya pengobatan korban jika kesepakatan damai dapat di capai. Pemulihan kondisi Baim tetap menjadi prioritas utama dalam penyelesaian perkara malpraktik khitan Kerinci ini.
Kejaksaan saat ini masih menganalisis seluruh keterangan saksi sebelum menentukan langkah hukum selanjutnya. Persidangan akan di lanjutkan dengan agenda pemeriksaan lanjutan yang terus di cermati publik, terutama terkait dugaan penggunaan dokumen SIPP palsu dan masalah kewenangan dalam tindakan medis khitan. (*)









