Britainaja – Ribuan tenaga honorer yang baru lolos seleksi sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu kini menghadapi pertanyaan besar. Apakah mereka berhak memperoleh fasilitas BPJS Kesehatan seperti pegawai pemerintah lainnya?
Meski hanya bekerja sekitar empat jam per hari, PPPK Paruh Waktu tetap menandatangani kontrak resmi tahunan. Mereka juga mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dengan status itu, mereka masuk ke dalam sistem kepegawaian negara. Namun, banyak daerah belum mampu memastikan hak jaminan kesehatan berjalan sebagaimana mestinya.
Regulasi menegaskan bahwa PPPK Paruh Waktu berhak atas gaji, tunjangan tertentu, serta perlindungan sosial. Hak tersebut mencakup jaminan kesehatan melalui BPJS. Secara normatif, pintu akses ke BPJS Kesehatan memang terbuka.
Kenyataannya di lapangan justru berbeda. Di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, lebih dari 1.300 PPPK Paruh Waktu terhambat dalam proses pemberkasan. BPJS mereka masih tidak aktif atau bahkan menunggak. Situasi ini menimbulkan keresahan karena jaminan kesehatan seharusnya melindungi seluruh aparatur negara, termasuk pegawai paruh waktu.
Pertanyaan pun muncul, mengapa hak yang sudah diatur belum sepenuhnya bisa dirasakan? Banyak pihak menilai persoalan administrasi menjadi biang keladi. Proses aktivasi BPJS Kesehatan kerap membutuhkan dokumen tambahan yang tidak segera disiapkan instansi maupun individu terkait.
Masalah lain datang dari aturan teknis yang belum jelas mengenai mekanisme pendaftaran PPPK Paruh Waktu ke BPJS. Akibatnya, pemerintah daerah kesulitan menjalankan kebijakan tersebut. Tanpa regulasi turunan yang tegas, pelaksanaan di lapangan berlangsung lambat dan menimbulkan kebingungan.
Bagi tenaga PPPK Paruh Waktu, jaminan kesehatan bukan fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan mendasar. Dengan jam kerja terbatas, mereka tetap berharap perlindungan sosial hadir sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian mereka di sektor publik.
“Kalau di atas kertas kami memang punya hak. Tapi kenyataannya, kami masih menunggu kejelasan. Mudah-mudahan pemerintah pusat segera menindaklanjuti,” ujar seorang tenaga PPPK Paruh Waktu di Dompu yang enggan disebutkan namanya.
Organisasi tenaga honorer di berbagai daerah juga menyuarakan hal serupa. Mereka menekankan bahwa kepastian BPJS Kesehatan akan membuat para PPPK Paruh Waktu lebih tenang bekerja. Apalagi banyak di antara mereka yang memiliki tanggungan keluarga.
Sampai saat ini, pemerintah pusat belum memberikan penjelasan detail tentang implementasi hak BPJS untuk PPPK Paruh Waktu. Kementerian terkait masih melakukan koordinasi guna menyusun aturan teknis agar tidak terjadi perbedaan perlakuan antar daerah.
Meski begitu, para PPPK Paruh Waktu mendesak pemerintah segera bertindak. Tanpa kepastian regulasi, posisi mereka tetap rawan, terutama ketika menghadapi risiko kesehatan.
Kasus ini menunjukkan adanya celah dalam pelaksanaan kebijakan aparatur negara. Regulasi memang sudah menetapkan hak tersebut, tetapi realisasi di lapangan memerlukan kejelasan teknis dan komitmen kuat dari pemerintah pusat hingga daerah.
Kini ribuan PPPK Paruh Waktu masih menunggu jawaban. Mereka berharap status sebagai aparatur negara, meski bekerja dengan jam terbatas, tetap menjamin hak yang sama dalam perlindungan sosial, khususnya jaminan kesehatan. (Tim)