
Britainaja – Setiap perayaan Idul Adha, Masjid Hijau di Kota Sungai Penuh selalu di padati jamaah dari berbagai daerah, bahkan hingga mancanegara. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan juga pusat kegiatan organisasi dakwah Jam’iyyatul Islamiah (JmI) yang berakar kuat di tanah Kerinci.
Bagi masyarakat Kerinci, Masjid Hijau bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga bagian dari sejarah panjang perkembangan dakwah Islam di wilayah ini. Keberadaannya selalu menjadi magnet ziarah, terutama saat hari raya kurban.
Jam’iyyatul Islamiah secara resmi berdiri pada Jumat, 12 Maret 1971 atau bertepatan dengan 14 Muharram 1391 Hijriah. Lembaga ini lahir dari gagasan ulama besar Kerinci, Buya K.H.A. Karim Djamak, bersama Mayor Min Harafat.
Sejak awal berdirinya, organisasi ini mendapat dukungan penuh dari ulama setempat, salah satunya Buya K.H. Amir Usman. Dukungan tersebut memperkuat arah dakwah JmI yang bersifat non-politis, lebih menekankan pada pembinaan keagamaan dan pendidikan umat.
Buya K.H.A. Karim Djamak di kenal sebagai tokoh penting dalam sejarah adat dan agama di Kerinci. Pada usia 20 tahun, tepatnya tahun 1926, ia telah menerima gelar adat: Timo Daharo Tunggak Nagari Mandopo Rawang Koto Teluk Tiang Agama Sakti Alam Kerinci.
Sebagai sosok sentral, beliau di angkat menjadi Pembina Tunggal Jam’iyyatul Islamiah. Kepemimpinannya meliputi pengajian, pembinaan dakwah, hingga pengembangan kelembagaan. Perannya begitu besar sehingga organisasi ini tetap berdiri kokoh hingga sekarang.
Setelah wafat pada 28 April 1996 di Jakarta, jenazah Buya Karim Djamak di makamkan di Sungai Penuh, tepat di samping Masjid Raya Jam’iyyatul Islamiah. Hingga kini, makamnya kerap di ziarahi jamaah, terutama saat Idul Adha.
Keberadaan Masjid Hijau sebagai markas utama JmI menjadikannya salah satu ikon religi paling penting di Sungai Penuh. Masjid ini bukan sekadar tempat melaksanakan ibadah wajib, tetapi juga menjadi pusat kegiatan sosial dan spiritual.
Setiap Idul Adha, masjid ini menjadi destinasi utama jamaah. Ribuan umat berdatangan untuk beribadah, berkurban, sekaligus mengenang jasa para ulama besar yang telah berjasa mengembangkan dakwah Islam di Kerinci.
Bagi masyarakat, Masjid Hijau merepresentasikan dua hal sekaligus: sejarah perjuangan dakwah dan warisan spiritual yang terus hidup hingga kini. Nama besar Jam’iyyatul Islamiah tak bisa di lepaskan dari peran masjid ini sebagai pusat pergerakan.
Keberadaan organisasi dan masjid ini menunjukkan bagaimana dakwah Islam di Kerinci berkembang melalui jalur kultural, adat, dan keagamaan tanpa meninggalkan akar sejarah.
Kini, setelah lebih dari lima dekade berdiri, Jam’iyyatul Islamiah tetap menjadi salah satu lembaga dakwah paling berpengaruh di Kerinci. Masjid Hijau yang menaunginya terus hidup sebagai simbol iman, kebersamaan, dan identitas religius masyarakat Sungai Penuh.
Setiap kali Idul Adha tiba, tradisi berkumpul di Masjid Hijau menjadi pengingat bahwa dakwah dan warisan para ulama masih terpatri kuat dalam kehidupan masyarakat Kerinci. (Tim)