Britainaja, Jakarta – Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya oleh kalangan muda. Bukan sekadar lelucon dunia maya, tagar ini menjadi simbol dari keresahan generasi produktif yang merasa tidak lagi punya ruang untuk bertumbuh di tanah air.
Fenomena ini mencuat dari sebuah curhatan warganet yang merasa peluang untuk hidup layak dan berkembang di Indonesia semakin sempit. Mulai dari persoalan gaji rendah, harga rumah yang tak terjangkau, hingga birokrasi yang kerap sangat mempersulit, dan banyak dari mereka yang pada akhirnya berpikir untuk mencari peruntungan baru di luar negeri.
“Saya bukan pengkhianat,saya hanya ingin hidup lebih layak dan manusiawi,” tulis seorang pengguna X,yang viral setelah menceritakan perjuangannya pindah kerja ke Jerman setelah bertahun-tahun bekerja di Jakarta dengan gaji pas-pasan.
Mencari Nafas di Negeri Orang
Fenomena ini dikenal dalam istilah global sebagai brain drain, yakni migrasi sumber daya manusia berkualitas ke luar negeri karena merasa tidak mendapat ruang yang layak di negaranya sendiri. Di Indonesia, situasi ini semakin nyata. Banyak lulusan S2 bahkan PhD yang lebih memilih berkarier di luar negeri karena insentif dan sistem kerja yang lebih menghargai kompetensi.
Menurut pengamat kebijakan publik, Dedi Hartono, meningkatnya tren #KaburAjaDulu tak lepas dari kegagalan negara dalam menyediakan lingkungan kerja dan hidup yang inklusif dan adil.
“Kita kehilangan talenta setiap hari. Kalau ini terus terjadi, bukan tidak mungkin Indonesia akan defisit SDM berkualitas dalam 10 tahun ke depan,”ujarnya.
Lebih dari Sekadar Ekonomi
Mereka yang memilih “kabur” tak hanya didorong karena alasan ekonomi. Banyak pula yang merasa kehilangan harapan karena ketidakpastian politik, kerusakan lingkungan, dan minimnya meritokrasi di sektor publik maupun swasta.
Tak sedikit yang menyayangkan fenomena ini, namun justru mengerti alasannya. “Kami ingin pulang,tapi apa yang bisa ditawarkan negara untuk kami?” tulis seorang diaspora Indonesia yang kini bekerja di sektor energi di Norwegia.
Apa Solusinya?
Pemerintah sebenarnya telah merintis beberapa program,seperti insentif untuk diaspora, peningkatan fasilitas riset, dan pembukaan beasiswa luar negeri. Namun,semua itu tak cukup bila akar masalah, ketimpangan, korupsi, dan stagnasi kesempatan belum diselesaikan.
Pakar SDM menyarankan perlunya reformasi sistem perekrutan,peningkatan upah minimum yang realistis, serta lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Lebih dari itu,negara juga harus mampu mengembalikan kepercayaan generasi muda bahwa masa depan mereka layak untuk diperjuangkan di sini.
Fenomena #KaburAjaDulu adalah sinyal kuat bahwa generasi muda sedang menjerit dalam diam. Mereka tak sekadar ingin pergi, tapi juga ingin didengar. Jika tidak ada perubahan nyata dalam waktu dekat,Indonesia bisa kehilangan generasi terbaiknya, bukan karena mereka tak mencintai negeri sendiri, tapi karena negeri ini belum mampu mencintai mereka kembali. (Wd)