Britainaja – Ribuan tenaga honorer di Indonesia yang tidak terdata dalam sistem Badan Kepegawaian Negara (BKN) kini menghadapi masa depan yang tidak pasti, terutama jelang diberlakukannya kebijakan reformasi kepegawaian sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.
Sementara itu, seleksi PPPK 2024 hanya membuka peluang bagi mereka yang telah masuk dalam database BKN, ribuan honorer di luar sistem ini berisiko kehilangan pekerjaan tanpa skema perlindungan yang jelas.
Melihat situasi tersebut, salah satu opsi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan adalah penerapan skema Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP). Mekanisme ini sebelumnya telah coba digunakan di sejumlah daerah untuk mengakomodasi tenaga kerja non-ASN melalui sistem kontrak berbasis pengadaan jasa perseorangan.
PJLP memungkinkan seseorang untuk tetap bekerja di lingkungan instansi pemerintah, meski tanpa status ASN atau PPPK. Tenaga kerja dikontrak melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP) berdasarkan kebutuhan riil masing-masing instansi. Pendekatan ini dinilai lebih fleksibel dibanding skema alih daya (outsourcing) dan tetap memberikan ruang penghasilan legal bagi ribuan pekerja.
Dalam pelaksanaannya, setiap tenaga kerja yang berada di bawah skema PJLP perlu memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai pelaku usaha perorangan. Hal ini penting karena proses pengadaan mengikuti sistem lelang jasa sebagaimana diatur dalam regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dukungan teknis berupa pelatihan dan bimbingan sangat penting agar para mantan tenaga honorer memahami alur pengurusan NIB, mekanisme pengadaan, hingga proses pelaporan kerja. Selain itu, instansi pengguna sebaiknya melakukan analisis kebutuhan jabatan agar rekrutmen melalui PJLP berjalan efisien dan tepat sasaran.
Jika diadopsi secara nasional, tentunya skema PJLP dapat menjadi jalan tengah atau solusi yang manusiawi dan realistis bagi honorer non-database, sekaligus mencegah gejolak sosial akibat PHK massal.
Meskipun belum menjadi kebijakan resmi, wacana penggunaan PJLP sebagai solusi transisi patut dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan, mengingat urgensi perlindungan sosial bagi pekerja yang selama ini berkontribusi besar dalam layanan publik. (***)