Britainaja – Gemerlap Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII bukan sekadar pertunjukan visual yang memesona. Ia menjadi ruang yang sarat makna—tempat budaya, spiritualitas, dan kritik sosial menyatu dalam gerak dan denting gamelan. Tahun ini, Kabupaten Jembrana menutup partisipasinya dengan cara yang menggetarkan kesadaran banyak orang, melalui rangkaian karya seni yang bukan hanya indah, tapi juga menggugah.
Di Panggung Terbuka Ardha Candra, Denpasar, pada Senin malam, 14 Juli 2025, suasana terasa sakral sejak awal. Ribuan pasang mata tertuju pada satu panggung, saat Duta Gong Kebyar Jembrana, Genta Gargita, melangkah mantap sebagai pembuka malam. Penonton tak sekadar disuguhi pertunjukan, tapi diajak merenung, bertanya, bahkan merasa bersalah.
Pertunjukan malam itu diawali dengan tabuh kreasi berjudul Jaladri, yang mengalun seperti gumam lautan—kadang lirih, kadang menggelegar. Tabuh ini merupakan interpretasi musikal tentang laut sebagai ruang hidup yang tak pernah bisa dikuasai sepenuhnya oleh manusia. Komposisinya menggunakan pakem karawitan Bali, namun terasa segar dan penuh eksplorasi sonik.
Bunyi gamelan yang lembut di awal menyerupai angin pantai, lalu perlahan berubah menjadi suara ombak yang menghantam, seolah memberi peringatan akan kekuatan alam yang sering dilupakan manusia. Laut tak hanya hadir sebagai latar, tetapi sebagai entitas yang hidup dan punya suara.
Usai tabuh pembuka, panggung berganti suasana dengan hadirnya Tari Kreasi Kekebyaran bertajuk Ni Lukat Lakut. Dalam pertunjukan ini, tubuh penari dipenuhi jerami, menjelma menjadi lambang kehidupan yang terabaikan. Tari ini merepresentasikan filosofi Jagat Kerthi—keselarasan antara buana alit (mikrokosmos) dan buana agung (makrokosmos).
Namun, harmoni yang ideal itu digambarkan telah retak. Sawah yang berubah jadi perumahan, sungai yang penuh limbah, dan alam yang terus diperdagangkan menjadi kritik utama tari ini. Ni Lukat Lakut adalah simbol dari penjaga bumi yang tak diberi ruang untuk bersuara. Tubuhnya penuh luka, tapi tetap berdiri sebagai pengingat: siapa yang menjaga ketika semua sibuk mengambil?
Khas dari daerah Jembrana, suara jegog—alat musik bambu raksasa—mengisi ruang dengan dentuman dalam yang mengguncang batin. Irama jegog bukan hanya iringan, tapi menjadi nyawa yang menyatukan gerak dan makna. Penonton diajak menyelami setiap denting, yang seolah berkata: “Alam bicara lewat suara, apakah kita mendengarnya?”
Jegog tak hanya estetika musikal. Dalam konteks malam itu, ia adalah alat untuk menyampaikan keresahan kolektif atas relasi manusia yang semakin menjauh dari akar alam.
Sebagai penutup, disajikan fragmen tari Nusa Sari, yang mengangkat kisah nyata perjalanan 121 kepala keluarga dari Nusa Penida ke wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Nusasari di Jembrana. Dipimpin oleh I Gusti Ketut Tangeb, mereka melintasi hutan lebat dan menghadapi berbagai tantangan mistis.
Fragmen ini tidak hanya merekam sejarah migrasi, tetapi juga menyoroti ritus pakelem, yaitu persembahan untuk alam agar memberikan restu. Fragmen ini menjadi jembatan antara spiritualitas dan pembentukan komunitas. Bahwa membangun tak sekadar soal ruang, tetapi juga relasi yang harmonis dengan yang tak kasat mata.
Seluruh rangkaian karya dari Jembrana pada malam itu menyatu dalam satu tarikan napas. Tiga garapan—Jaladri, Ni Lukat Lakut, dan Nusa Sari—membangun narasi utuh tentang relasi manusia, alam, dan spiritualitas. Ini bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi ajakan reflektif tentang apa yang sebenarnya sedang kita tinggalkan dalam kehidupan modern ini.
Di tengah malam yang sejuk itu, Gubernur Bali Wayan Koster dan Bupati Jembrana I Made Kembang Hartawan turut hadir menyaksikan. Sang bupati menyampaikan bahwa penampilan ini bukan hanya panggung seni, melainkan refleksi identitas.
“Apa yang disampaikan malam ini adalah suara hati masyarakat Jembrana. Ini bukan soal tari atau musik saja, tapi soal jati diri yang ingin kami rawat terus dari akar budaya,” ucap Bupati Kembang.
Genta Gargita sebagai kelompok yang membawakan semua pertunjukan tersebut bukan hanya tampil sebagai seniman, tetapi juga sebagai pengemban misi budaya. Mereka datang bukan sekadar untuk memukau penonton, melainkan untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya merawat bumi dan menjaga warisan leluhur.
Gerakan mereka mengandung tafsir, tubuh mereka mengandung makna. Mereka mewakili generasi muda yang tak ingin melupakan akar, bahkan ketika dunia berubah begitu cepat.
Pesta Kesenian Bali tahun ini digelar selama hampir satu bulan penuh, sejak 21 Juni hingga 19 Juli 2025. Mengusung tema Jagat Kerthi Lokahita Samudaya, PKB XLVII hadir di 15 panggung berbeda di seluruh wilayah Denpasar dan sekitarnya.
Agenda yang disajikan sangat beragam:
-
16 Wimbakara (lomba seni)
-
65 Pagelaran Rekasadana
-
Parade seni budaya
-
Sarasehan dan diskusi budaya
-
Pameran kerajinan
-
Tiga lokakarya seni tradisi dan kontemporer
Ardha Candra tetap menjadi jantung pertunjukan, namun atmosfer festival menjalar hingga ke komunitas-komunitas akar rumput. Ini menandai bahwa PKB telah berevolusi menjadi ruang budaya yang inklusif dan dinamis.
Yang tertinggal dari malam itu bukan hanya suara gong atau gerakan penari, melainkan getaran batin yang menyentuh kesadaran. Seni bukan hanya estetika, melainkan bahasa paling jujur dari keresahan dan harapan manusia.
Pesta Kesenian Bali, lewat penampilan Jembrana, telah mengingatkan bahwa menjaga bukan hanya tugas, tetapi laku spiritual. Dan dalam tubuh jerami yang tak bersuara, kadang ada pesan paling dalam yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. (Wd)