Britainaja – Di sepanjang jalur pantai yang rusak dan penuh puing reruntuhan, ratusan warga Gaza tampak berjalan tanpa suara, membawa karung kosong, jerigen air, atau sekadar harapan. Langkah mereka menuju bagian selatan Gaza bukan sekadar perjalanan biasa, ini soal bertahan hidup di tengah sisa-sisa kehancuran akibat perang.
Sejak Israel menerapkan blokade total pada awal Maret lalu, wilayah utara Gaza berubah menjadi zona krisis kelaparan. Persediaan makanan terputus, akses air bersih lenyap, dan harapan akan hidup layak nyaris sirna. Warga yang masih bertahan di utara terpaksa berjalan kaki sejauh 15 hingga 20 kilometer menuju selatan, berharap menemukan tempat distribusi bantuan atau kamp pengungsian.
“Saya sadar, mungkin saya tidak akan kembali,” kata Majeed Dabbour, pria berusia 42 tahun asal Beit Lahia, Gaza Utara. “Tapi saya tidak punya pilihan. Anak-anak saya belum makan selama dua minggu.”
Majeed dan banyak warga lain menempuh satu-satunya rute yang masih memungkinkan dilewati: Jalan Al Rasheed yang membentang di sepanjang garis pantai. Meski jalur ini relatif terbuka, jalan tersebut berbahaya, kendaraan bermotor sering menjadi target serangan, dan pantauan drone terus membayangi.
Banyak yang memilih berjalan kaki atau menggunakan alat transportasi sederhana seperti sepeda tua, gerobak kayu, atau becak bermotor. Bahkan beberapa membawa kereta kuda. Di tengah kehancuran, kolaborasi manusia dan hewan menjadi gambaran pilu tentang hidup yang terus diperjuangkan.
“Saya melihat dua orang roboh di jalan karena terkena pecahan peluru. Tak ada yang berani menolong. Semua takut. Kami hanya bisa terus berjalan,” ucap seorang pengungsi yang meminta namanya tidak disebutkan.
Namun perjuangan tidak berhenti saat mereka tiba di selatan. Persediaan makanan terbatas, dan tak semua pos bantuan masih beroperasi. Ada yang kembali dengan tangan hampa, ada yang terlibat perebutan bantuan, dan ada pula yang tak pernah kembali.
Lembaga kemanusiaan internasional menyebut situasi ini sebagai salah satu krisis terburuk. Anak-anak mengalami malnutrisi parah, ibu-ibu terpaksa memasak dedaunan atau kulit buah untuk mengganjal perut. Warga terpaksa berteduh di reruntuhan bangunan demi berlindung dari dinginnya malam.
Sayangnya, penderitaan ini kerap tertutup oleh hiruk-pikuk politik global yang tak berpihak pada kemanusiaan.
Namun satu hal yang tetap menyala di tengah kegelapan: ketabahan warga Gaza. Mereka tetap melangkah meski tubuh melemah, tetap berjuang walau pilihan makin sempit.
“Saya tidak tahu apakah besok saya masih bernapas,” ujar Majeed sembari menatap horison. “Tapi saya tahu, saya tidak akan diam saja.” (Tim)