Oleh : Wahyu Hidayat, S.IP. M.Sos
Permasalahan sampah di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci telah menjadi isu krusial yang memerlukan penanganan terpadu. Pembangunan TPA Regional menjadi solusi strategis untuk mengatasi permasalahan ini. Namun, implementasinya menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan lahan, pendanaan, dan koordinasi antar pemerintah daerah. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis urgensi pembangunan TPA Regional dan merumuskan strategi implementasi yang efektif.
Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci merupakan dua wilayah yang terletak di Provinsi Jambi, dengan karakteristik geografis yang saling berdekatan dan secara administratif saling bergantung dalam berbagai aspek pelayanan publik, termasuk dalam hal pengelolaan sampah. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan aktivitas ekonomi, serta urbanisasi yang terus terjadi, volume timbulan sampah di kedua daerah ini mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya.
Sayangnya, peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan kesiapan infrastruktur dan sistem pengelolaan sampah yang memadai. Keterbatasan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang ada, baik dari sisi kapasitas maupun sistem pengelolaannya, menyebabkan terjadinya penumpukan sampah di berbagai titik. Kondisi ini menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari pencemaran tanah, air, dan udara, hingga meningkatnya risiko terhadap kesehatan masyarakat akibat munculnya vektor penyakit seperti lalat, tikus, dan nyamuk.
Melihat kompleksitas permasalahan tersebut, pemerintah Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci telah menyepakati pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional sebagai solusi bersama yang terintegrasi dan berkelanjutan. TPA Regional diharapkan dapat menjadi pusat pengelolaan sampah terpadu yang mampu melayani kedua wilayah secara efisien dan ramah lingkungan, serta mendukung upaya pencapaian target pengurangan sampah nasional sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Namun demikian, realisasi pembangunan TPA Regional ini masih menemui berbagai kendala teknis dan non-teknis. Di antaranya adalah belum tersedianya lahan yang memadai, keterbatasan anggaran pembangunan, serta tarik ulur kepentingan antar pihak terkait mengenai lokasi dan tanggung jawab pengelolaan. Polemik yang muncul tidak hanya menghambat pembangunan fisik TPA, tetapi juga menunjukkan perlunya pendekatan kolaboratif dan transparan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek lintas wilayah.
Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif urgensi pembangunan TPA Regional di kawasan Sungai Penuh dan Kerinci, mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam implementasinya, serta merumuskan rekomendasi strategi yang tepat untuk memastikan keberhasilan pembangunan fasilitas tersebut demi terciptanya lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.
Mengingat permasalahan sampah yang semakin kompleks dan mendesak di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci, pembangunan TPA Regional menjadi imperatif strategis yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata dari seluruh pemangku kepentingan.
Peningkatan volume sampah yang tidak terkendali telah menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius dan mengancam kesehatan masyarakat. TPA yang ada saat ini sudah tidak mampu menampung volume sampah yang terus meningkat, sehingga menyebabkan penumpukan sampah ilegal di berbagai lokasi.
Selain itu, sistem pengelolaan sampah yang belum optimal, ditambah dengan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah yang benar, semakin memperburuk situasi. Dalam konteks ini, TPA Regional diharapkan menjadi solusi yang komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi permasalahan sampah di kedua wilayah.
- Urgensi Pembangunan TPA Regional
Penumpukan sampah di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci tidak hanya menjadi persoalan estetika dan kenyamanan, tetapi juga memunculkan berbagai permasalahan sosial dan lingkungan. Masyarakat mulai mengeluhkan bau tidak sedap, pencemaran air tanah, serta meningkatnya gangguan kesehatan akibat sampah yang menumpuk dan tidak tertangani secara efektif. Sejumlah kawasan di kedua daerah tersebut bahkan dilaporkan mengalami krisis kebersihan karena keterbatasan tempat pembuangan akhir yang layak.
Pemerintah daerah telah mengambil langkah awal melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai bentuk komitmen bersama untuk membangun Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional. MoU ini diharapkan menjadi dasar legal dan administratif bagi pelaksanaan proyek lintas kabupaten/kota tersebut. Dalam konsep TPA Regional, kedua daerah akan memusatkan proses akhir pengolahan sampah di satu lokasi dengan pembagian tanggung jawab secara proporsional, baik dalam hal operasional maupun pembiayaan.
Sayangnya, hingga saat ini implementasi dari MoU tersebut belum menunjukkan progres yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa komitmen politik dan administrasi saja tidak cukup tanpa diiringi dengan aksi nyata dan koordinasi lintas sektor yang kuat. Terhambatnya pembangunan TPA Regional memperburuk kondisi eksisting, karena TPA lokal yang ada sudah tidak mampu lagi menampung volume sampah harian.
Selain itu, tidak adanya fasilitas pengolahan yang memenuhi standar lingkungan juga menyebabkan rendahnya tingkat daur ulang dan pemanfaatan kembali sampah. Sampah organik, anorganik, hingga limbah B3 rumah tangga masih bercampur di tempat pembuangan, memperbesar potensi pencemaran dan memperberat beban pengelolaan. TPA Regional bukan hanya sekadar tempat menampung sampah, tetapi juga diharapkan menjadi pusat pengolahan modern dengan pendekatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan teknologi ramah lingkungan seperti sanitary landfill atau bahkan RDF (Refuse-Derived Fuel) di masa depan.
Lebih jauh, pembangunan TPA Regional juga menjadi kebutuhan strategis dalam rangka mewujudkan tata kelola sampah yang terintegrasi dan efisien. Dalam konteks perencanaan wilayah, pendekatan regionalisasi pengelolaan sampah akan memperkuat kolaborasi antar-pemerintah daerah, mengoptimalkan alokasi anggaran, serta meminimalisir tumpang tindih program. TPA Regional harus dirancang secara komprehensif dengan mempertimbangkan aspek teknis, lingkungan, sosial, ekonomi, dan tata ruang wilayah. Pemerintah perlu menggandeng pihak swasta, akademisi, dan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan.
- Tantangan Implementasi
Keterbatasan Lahan : dalam konteks pembangunan TPA Regional di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci:
Pemilihan lokasi untuk TPA tidak bisa dilakukan sembarangan. Selain harus memiliki luasan yang cukup — umumnya minimal 5–10 hektare untuk TPA Regional — lahan juga harus jauh dari kawasan permukiman, sumber air bersih, dan daerah rawan bencana. Proses identifikasi lahan sering kali terbentur pada status kepemilikan, tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat, atau penolakan dari warga sekitar karena kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial. Inilah yang terjadi di beberapa titik calon lokasi TPA di Kabupaten Kerinci, di mana muncul penolakan dari masyarakat setempat yang tidak ingin wilayahnya dijadikan tempat pembuangan sampah lintas daerah.
Selain persoalan teknis dan sosial, ada juga kendala administratif. Dalam beberapa kasus, pemerintah daerah belum menyelesaikan proses pembebasan lahan atau belum memiliki sertifikat kepemilikan yang sah atas tanah calon lokasi TPA. Tanpa legalitas yang jelas, proses pengajuan perizinan lingkungan (UKL-UPL/AMDAL) dan pendanaan dari pemerintah pusat juga akan terhambat.
Dari sisi solusi, pada tahun-tahun berikutnya telah muncul perkembangan positif, seperti pernyataan dari Gubernur Jambi yang menyebutkan bahwa saat ini telah tersedia lahan seluas 5 hektare yang diusulkan sebagai lokasi TPA Regional. Namun, luas tersebut masih dipertanyakan kecukupannya untuk menampung dan mengelola sampah dari dua wilayah dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan kajian teknis mendalam dan menyusun rencana induk pengelolaan TPA agar lahan yang disiapkan benar-benar sesuai kebutuhan dan dapat dikembangkan di masa depan.
Isu keterbatasan lahan ini menunjukkan bahwa pembangunan TPA bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga memerlukan pendekatan sosiopolitik dan partisipatif. Sosialisasi kepada masyarakat, pelibatan tokoh adat, serta transparansi dalam pengambilan keputusan menjadi kunci dalam mengatasi resistensi dan mempercepat penyediaan lahan.
Pendanaan: Pendanaan menjadi salah satu aspek krusial dalam realisasi pembangunan TPA Regional. Berdasarkan data dari berbagai sumber, Pemerintah Provinsi Jambi sebenarnya telah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk proyek ini, yakni sekitar Rp150 miliar pada tahun 2022 dan Rp18 miliar pada tahun 2023. Namun, ironisnya, hingga tahun 2025 proyek tersebut belum juga terealisasi secara fisik di lapangan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas perencanaan anggaran dan mekanisme pelaksanaan proyek.
Besarnya dana yang telah dialokasikan menunjukkan bahwa pembangunan TPA Regional telah masuk dalam prioritas pembangunan daerah. Namun, tidak terealisasinya proyek ini mengindikasikan adanya hambatan dalam eksekusi anggaran, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh persoalan administratif, belum tersedianya lahan yang siap dibangun, dan belum selesainya proses teknis seperti studi kelayakan, desain engineering detail (DED), hingga dokumen perizinan lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL).
Selain itu, pembagian beban anggaran antara Pemerintah Provinsi, Kota Sungai Penuh, dan Kabupaten Kerinci juga menjadi isu tersendiri. Ketidakjelasan mekanisme sharing anggaran dan pengelolaan pasca pembangunan dikhawatirkan menimbulkan ketidakseimbangan beban fiskal, serta potensi konflik kewenangan antar pemerintah daerah. Hal ini dapat menunda proses pelaksanaan karena masing-masing pihak belum sepenuhnya sepakat mengenai proporsi kontribusi dan manfaat yang akan diperoleh.
Tidak hanya dalam tahap pembangunan, pendanaan juga diperlukan untuk operasional jangka panjang TPA Regional, seperti pengadaan alat berat, pengelolaan leachate (air lindi), sistem pengomposan, pemilahan, serta biaya tenaga kerja. Oleh karena itu, perencanaan anggaran tidak bisa hanya bersifat proyek fisik semata, tetapi harus mencakup aspek sustainability jangka panjang.
Guna mengatasi hambatan ini, pemerintah daerah perlu menjalin koordinasi lebih erat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian PUPR, agar dapat memperoleh dukungan teknis maupun pendanaan alternatif melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), hibah luar negeri, atau skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Selain itu, pelibatan sektor swasta melalui pendekatan investasi pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada APBD.
Dengan kata lain, ketersediaan anggaran bukan satu-satunya jaminan keberhasilan. Butuh kesiapan institusi pelaksana, sinergi lintas sektor, dan tata kelola anggaran yang efisien dan transparan agar pendanaan yang telah dialokasikan benar-benar memberikan hasil nyata bagi pengelolaan sampah regional.
Koordinasi Antar Pemerintah Daerah: Realisasi pembangunan TPA Regional di Dusun Sembulun Pantai, Desa Pondok, Kecamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci, menghadapi keberatan dari Pemkab Kerinci dan DPRD Kerinci karena TPA tersebut juga akan digunakan oleh Pemkot Sungai Penuh .
- Strategi Implementasi
Penyediaan Lahan: Pemerintah daerah perlu segera menyediakan lahan yang memadai untuk pembangunan TPA Regional.
Pendanaan: Mencari alternatif pendanaan melalui kerja sama dengan pemerintah pusat, swasta, atau lembaga donor internasional.
Koordinasi dan Komunikasi: Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antara Pemkot Sungai Penuh dan Pemkab Kerinci untuk menyepakati lokasi dan mekanisme pengelolaan TPA Regional.
Sosialisasi kepada Masyarakat: Melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya pembangunan TPA Regional untuk mendapatkan dukungan publik.
Pembangunan TPA Regional merupakan solusi strategis untuk mengatasi permasalahan sampah di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Namun, implementasinya menghadapi tantangan berupa keterbatasan lahan, pendanaan, dan koordinasi antar pemerintah daerah. Diperlukan upaya bersama dari semua pihak untuk mengatasi tantangan tersebut dan merealisasikan pembangunan TPA Regional demi terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.