Britainaja – Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta yang mengakibatkan puluhan siswa luka hingga kini masih menjadi perhatian publik. Peristiwa tersebut di duga di lakukan oleh seorang siswa yang merasa menjadi korban perundungan (bullying) dalam lingkungan sekolahnya. Kejadian ini memperlihatkan bahwa luka emosional yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi kemarahan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Psikolog Klinis Jovita Maria Ferliana, M.Psi., Psi., menjelaskan bahwa tindakan ekstrem seperti itu biasanya muncul dari rasa sakit yang terus terakumulasi. Ketika korban tidak menemukan ruang aman untuk bercerita dan pulih, perasaan tersebut dapat berubah menjadi keputusasaan atau balas dendam.
Untuk mencegah kondisi tersebut berkembang, ia menyampaikan bahwa sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat perlu berperan aktif secara berkelanjutan. Bukan hanya setelah insiden terjadi, tetapi sejak tanda-tanda awal muncul. Berikut langkah-langkah penting yang di sarankan.
1. Peran Sekolah: Pendampingan dan Lingkungan Aman
Jovita menekankan pentingnya pendampingan profesional yang terstruktur bagi siswa yang menjadi korban. Sekolah sebaiknya menyediakan layanan konseling yang di lakukan secara rutin, bukan hanya ketika masalah memuncak.
“Program pemulihan emosi perlu di terapkan agar siswa bisa mengelola rasa takut, marah, dan malu yang dialaminya,” jelasnya.
Selain layanan psikologis, sekolah di harapkan membangun budaya yang menumbuhkan empati. Kegiatan seperti diskusi terbuka, proyek sosial, dan simulasi peran dapat membantu siswa memahami dampak perundungan.
Kemudian, kehadiran kelompok dukungan sebaya (peer counselor) juga di nilai penting. Kehadiran teman yang memahami dapat membantu korban merasa tidak sendirian dan tetap terhubung secara sosial.
2. Peran Keluarga: Validasi dan Rasa Aman di Rumah
Keluarga adalah tempat pertama yang di harapkan memberikan perlindungan emosional. Karena itu, orang tua perlu mendengarkan anak tanpa menghakimi atau meremehkan perasaannya.
“Orang tua perlu mengatakan bahwa anak tidak bersalah dan wajar merasa sedih atau marah,” ujar Jovita.
Peran contoh dari orang tua juga penting. Cara mereka menghadapi konflik dan mengontrol emosi akan menjadi acuan anak. Oleh sebab itu, mengikuti edukasi parenting bisa membantu orang tua mengembangkan cara pengasuhan yang lebih suportif.
Rumah sebaiknya menjadi ruang aman, bukan tempat tekanan tambahan. Mengajak anak terlibat dalam aktivitas keluarga dapat membantu membangun rasa berarti dan meningkatkan keterampilan sosial.
3. Peran Masyarakat: Dukungan Kolektif dan Edukasi Anti-Bullying
Lingkungan sosial memiliki kontribusi besar dalam memulihkan korban. Masyarakat bisa menyelenggarakan program edukasi tentang literasi emosi dan kampanye anti-bullying melalui komunitas, organisasi pemuda, atau tempat ibadah.
Jovita menyebut perlunya jejaring kolaboratif yang melibatkan tokoh masyarakat, pengurus lingkungan, dan tenaga pendidik. “Jika di ketahui ada anak yang berada dalam lingkungan keluarga yang toksik atau mengalami kekerasan, maka perlu segera di lakukan pendekatan dan pendampingan,” tuturnya.
Selain itu, korban perlu di arahkan pada aktivitas positif seperti seni, organisasi sosial, ataupun olahraga untuk membangun resiliensi, rasa percaya diri, dan empati.
Butuh Bantuan Profesional
Jika dampak psikologis sudah berat, korban perlu mendapatkan intervensi dari tenaga ahli. Terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau terapi trauma dapat membantu mengurangi rasa sakit emosional yang mendalam sebelum berkembang menjadi tindakan berbahaya. (Tim)









